Alkisah 100 tahun lalu, seorang remaja bernama Willie Hutchinson secara tidak sengaja menemukan beberapa bongkah batu akik jenis opal saat berjalan di kawasan pedalaman Australia selatan.
Bersama ayahnya, Hutchinson awalnya ingin mencari tambang emas. Namun, temuan batu tersebut membuka gairah penambangan opal secara massal yang berujung pada pendirian Coober Pedy, sebuah kota sejauh 846 kilometer arah utara Adelaide.
Saat ini, warga Coober Pedy dengan bangga menyebut tempat tinggal mereka sebagai ‘ibu kota opal dunia’. Maklum, kontribusi opal dari Australia disebut-sebut mencapai lebih dari 80 persen produksi opal di seluruh dunia.
Batu opal Coober Pedy memang khas. Warnanya yang putih kemilau, bahkan ada yang warna-warni seperti pelangi, membuat batu produksi kota itu mendapat predikat ‘Batu Mulia Nasional’.
Meski demikian, warga ‘Negeri Kanguru’ tidak puas dengan predikat tersebut. Mereka ingin agar batu opal Coober Pedy diakui dunia sebagai Sumber Batu Warisan Dunia (GHSR, Global Heritage Stone Resource)
Status itu diciptakan sekelompok pakar geologi dunia yang berniat mengategorikan dan mendefinisikan batu-batu tertentu di dunia yang memiliki makna khusus dalam budaya manusia.
Dengan status tersebut, profesi seperti arsitek dan perawat bangunan tua akan terbantu karena mereka bisa memakai materi yang sudah diketahui kekuatan dan karakteristiknya.
Contoh batu yang sedang diteliti kelayakannya untuk status GHSR ialah batu Portland, batu bangunan yang ditambang khusus di Dorset di pesisir selatan Inggris. Lainnya adalah batu marmer yang berasal dari daerah Tuscany di Italia.
Kritik
Dalam kasus batu opal dari Coober Pedy, sejumlah ahli menilai batu tersebut terlalu banyak ‘diolah’ dan tidak alamiah. Lebih lanjut, batu opal dari kota tersebut memiliki beragam bentuk dan warna sehingga sangat sulit untuk menempatkannya dalam kategori yang sangat spesifik.
Di sisi lain, pakar geologi dari Australia menepis kritik tersebut. Salah satunya ialah Barry Cooper, yang menjabat sebagai sekretaris Kelompok Kerja Batu Pusaka dari Persatuan Ilmuwan Geologi Internasional.
”Di mana batasannya (batu yang terlalu banyak diolah dan yang tidak)? Saya berpendapat justru batu seperti permata dan safir terlalu banyak mendapat olahan. Namun, batu seperti opal tidak hanya bisa menjadi batu perhiasan, tapi juga seni mosaik dan pahatan. Itu yang membuat batu opal memiliki makna budaya yang lebih dalam,” kata Cooper.
Cooper kemudian merujuk proses alam yang menciptakan kekhasan pada batu opal dari Coober Pedy. Tidak seperti batu opal lainnya di dunia, batu opal dari Coober Pedy terbentuk ketika Samudera Fromanga, yang mencakup Australia bagian tengah 100 juta tahun lalu, mulai mengering.
Pengeringan itu menyebabkan cairan asam berkadar tinggi mengeras menjadi batu mulia yang kaya dengan mineral. Proses pembentukan itu berbeda jika dibandingkan dengan batu opal di kawasan lain di dunia yang tercipta karena imbas keberadaan gunung berapi.