Usianya memang sudah senja, namun tubuhnya tetap tegap dan gagah di hadapan prajurit Italian yang menjaganya cukup ketat. Dengan tenang, lelaki ini berjalan menuju tiang gantungan. Namun, hatinya masih yakin, negara dan rakyatnya akan merasakan kebebasan dan lepas dari penjajahan.
Sosok itu adalah Omar Al-Mukhtar, atau lebih dikenal Omar Mokhtar. Sepak terjangnya melawan penjajahan membuatnya jadi buruan nomor satu, bahkan membuat gentar serdadu Italia yang mencoba berkuasa di tanah kelahirannya.
Omar dilahirkan di sebelah timur Cyrenaica, Distrik Burnan, sebuah kampung kecil bernama Zawiyat Janzur bagian timur Tobruk. Tempat kelahirannya ini sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Ottoman yang bernama Provinsi Tripolitanian. Pendidikannya pun didapat dari masjid setempat, sebelum akhirnya menghabiskan delapan tahun hidupnya di Universitas Senussi.
Bulan Oktober 1911, Italia mulai membuka front di Libya untuk merebut wilayah ini dari Ottoman. Pasukan dari negeri ini menyerang dan berhasil sejumlah kota pantai, mulai dari Tripoli, Benghazi, Misrata dan Derna secara berturut-turut. Bombardir yang berlangsung selama tiga hari dalam sebuah serangan ke Cyrenaica mematik api kemarahan Omar.
Omar pun berusaha membangkitkan semangat perjuangan rakyat Libya untuk mengganggu keberadaan tentara Italia di negerinya. Omar yang juga berprofesi sebagai guru mengaji ini tak hanya seorang hafiz, tapi juga ahli strategi dalam perang gurun. Dia sangat mengenal wilayahnya dan menggunakan pengetahuannya agar unggul dari serdadu Italia yang memiliki persenjataan dan peralatan tempur yang lebih modern.
Taktik perang gerilya yang dijalani Omar dan pasukannya meraih kemenangan yang gemilang. Bahkan, sebuah serangan di Al-Gherthabiya, dekat Sirt pada April 1915 membuat Italia kehilangan ribuan tentaranya.
Serangan itu membuat Italia berupaya membalas. Beberapa kota yang sempat dikuasai Omar dan pasukannya kembali jatuh ke tangan Italia. Alhasil, Omar terpaksa mundur hingga membentuk garis pertahanan baru di sebuah bukit bernama Aj-Jabal Al-Akdar, atau Gunung Hijau.
Dengan cepat, Mukhtar berhasil mengubah taktiknya dan mendapat bantuan dari Mesir. Usai perang dunia pertama, atau tepatnya Maret 1927, serangan Omar di Raheiba mengejutkan Italia. Serbuan itu mematik amarah Jenderal Attilio Teruzzi dan bersumpah akan membalas serangan itu.
Antara tahun 1927 dan 1928, Mukhtar mengubah pasukan Senusite yang dipimpinnya. Pasukan ini telah menjadi buruan utama pasukan Italia dan menyebutnya sebagai penjahat. Tapi, rakyat Libya menjuluki ulama ini dengan nama Singa Padang Pasir.
Gubernur Libya , Pietro Badoglio beberapa kali mengajukan perdamaian agar Omar dan pasukannya tak lagi mengganggu tentara Italia. Namun, Omat tetap melawan dan membangun kembali pasukan Libya , serta menyatakan konfrontasi terhadap Jenderal Rodolfo Graziani.
Ketidakmampuan pasukan Italia membungkam perlawanan rakyat Libya menarik perhatian Pemimpin Italia Benito Mussolini. Dia segera memerintahkan para jenderalnya untuk membawa 100 ribu rakyat Gebel ke kamp konsentrasi yang berlokasi di pinggir pantai. Tak hanya itu, mereka juga menutup perbatasan Libya dan Mesir guna mencegah bantuan internasional terhadap Omar dan pasukannya.
Taktik keji ini berhasil memicu Omar dan pasukannya untuk menyerang. Namun, tanpa bantuan dari Mesir membuat kekuatan mereka terus berkurang. Sementara, hari demi hari rakyat Gebel kelaparan dan meninggal dunia. Upaya Senusite untuk mencari bantuan terus dipatahkan berkat bantuan dari AU Italia.
Meski usianya semakin senja,dan kekuatannya terus berkurang, Omar tak mau mengendurkan serangan hingga akhirnya tertangkap oleh pasukan Italia dalam sebuah penyergapan di dekat Slona pada 11 September 1931. Penangkapan itu tak lepas dari upaya Italian untuk mendapatkan informasi dari informan lokal mereka.
Pemerintah segera mengadilinya, dan menuduhnya telah melakukan kejahatan berat. Pengadilan menjatuhkan hukuman gantung terhadap pria berusia 73 tahun ini, tanpa mengindahkan perjanjian Genewa untuk mempertimbangkan kesehatan dan usianya yang lanjut.
Tepat pada 16 September 1931, Omar tewas di tiang gantungan. Namun, hukuman itu tak membuat Omar merasa gentar. Saat ditanya soal permintaan terakhirnya, Omar hanya menjawab, "Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un (sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan kita semua akan berpulang kepadanya)."
Impiannya untuk memerdekakan Libya dari penjajahan baru terjadi setelah berakhirnya perang dunia kedua. Setelah sempat di bawah kekuasan pasukan sekutu, Libya baru merasakan kemerdekaannya dari Italia pada 1953.
(sumber)