Tahun 1962, Kongo, negara di belahan Bumi Afrika sedang bergolak, TNI kembali diundang untuk Misi Perdamaian PBB dengan nama Kontingen Garuda III (Konga III) di bawah pimpinan Letjen TNI (Purn) Kemal Idris (Alm). Garuda III diambil dari dari Batalyon 531/Raiders, satuan-satuan Kodam II/Bukit Barisan, Batalyon Kavaleri 7, dan unsur bantuan tempur lainnya.
Pasukan ini berangkat dengan pesawat pada bulan Desember 1962, dan berada di medan tugas selama delapan bulan di bawah UNOC (United Nations Operation in the Congo). Mereka di tempatkan di Albertville. Di tempat ini telah disiapkan satu kekuatan pasukan besar, yang terdiri dari 2 batalyon kavaleri. Sedangkan Batalyon Arhanud di tempatkan di Elizabethville, yang menjadi wilayah kekuasaan tiga kelompok milisi yang ingin memisahkan diri, di bawah pimpinan Moises Tsommbe dari pemerintah Republik Demokratik Kongo pimpinan Presiden Kasavubu.
Daerah ini terkenal dengan kekayaan mineralnya. Sempat terjadi beberapa pertempuran sengit antara pasukan PBB dari India melawan kelompok-kelompok pemberontak tersebut. Disini interaksi antara pasukan Garuda III dengan pasukan PBB lainnya sangat erat. Mereka terdiri dari pasukan Filipina, India, bahkan Malaysia. Walaupun ditanah air konfrontasi Ganyang malaysia dikumandangkan, interaksi persahabatan antara Garuda III dengan Malaysia tetap terjalin erat. Tanpa sedikit pun permusuhan (profesionalitas personel Garuda III).
Pasukan PBB asal India merupakan yang terbesar dan terbanyak jumlahnya. Mereka terorganisir dengan sangat baik. Mereka ditempatkan di kawasan-kawasan vital yang penting dan strategis. Sebaliknya Garuda III yang hanya berkekuatan kecil, mampu melakukan operasi taktik gerilya yang terkenal dalam sejarah PBB sehingga mencapai sukses besar. Disamping itu, personel Garuda III sangat luwes, pandai bergaul dengan penduduk setempat sehingga mereka menaruh kepercayaan besar kepada pasukan Garuda III.
Pasukan Garuda III mengajarkan bagaimana cara mengolah masakan Indonesia, membuat kue, serta menyayur daun singkong sehingga enak dimakan. Padahal mereka mengetahui memasak singkong hanyalah untuk makanan inti dengan cara dibusukkan, dikeringkan, ditumbuk jadi tepung baru dapat dimasak. Dengan adanya interaksi dan hubungan dengan penduduk setempat, maka semua program yang direncanakan berjalan dengan baik. Penduduk setempat menaruh simpati pada program yang dicanangkan, misalkan melakukan tindakan pengamanan daerah setempat dari pengacau. Dengan spontan tanpa di perintah, masyarakat memberitahukan kepada personel Garuda III, bila akan ada serangan yang di lancarkan oleh gerombolan pengacau.
Suatu hari terjadi serangan mendadak ke markas Garuda III. Pertempuran dan tembak menembak terjadi dari jam 12.00 malam hingga dinihari. Markas Garuda III terkepung dengan rapat. Semua personel merapatkan barisan, berusaha menangkis serangan tersebut. Menurut Informasi Intelijen, serangan dilakukan oleh sekitar 2000 pengacau, hasil gabungan 3 kelompok pemberontak. Sedangkan markas komando Garuda III dipertahankan sekitar 300an personel, 40 persen dari seluruh kekuatan Garuda III di Kongo. Tidak ada korban jiwa dari Garuda III, hanya beberapa yang cedera ringan dan langsung ditangani tim medis lapangan. Menjelang subuh, gerombolan pengacau mengendurkan serangan kemudian menarik diri ke basis mereka di wilayah gurun pasir yang membentang gersang.
Hasil konsolidasi pasukan, maka di bentuk tim berkekuatan 30 orang personel RPKAD sebagai tim bayangan sekaligus tim terdepan untuk pengejaran hingga ke markas pemberontak sekalipun. Mereka bergerak cepat pada jam 06.00 waktu setempat, dengan perlengkapan garis 1 untuk pengejaran. Semangat tinggi dan berkobar terlihat jelas di wajah-wajah mereka yang terpilih. Iringan doa rekan-rekan di markas, juga dari pasukan PBB lain, mengiring langkah kaki mereka. Menuju kawasan "no mand land" -wilayah tak bertuan-, yang menjadi daerah kekuasaan pemberontak, sekaligus juga merupakan daerah terlarang untuk pasukan PBB. Di kawasan itu, 2 kompi plus Pasukan India pernah di bantai tanpa tersisa.
Pasukan ini di pimpin seorang Kapten dengan dibantu 5 orang Letnan. Dengan penyamaran layaknya kumpulan suku pengembara, mereka bergerak dalam 3 kelompok yang saling berkomunikasi, tidak lupa kambing, sapi, bakul sayuran di bawa bersama untuk penyamaran. Badan dan wajah di gosok arang sehingga hitam dan menyerupai penduduk asli tempatan, ada juga personel yang berpakaian wanita dan menjunjung bakul sayuran daun singkong. Mereka bergerak melambung melalui pinggiran danau, melewati "no mand land" tujuan akhir.
Data intelijen yang didapat mengatakan kekuatan musuh diperkirakan 3000an bersenjatakan campuran termasuk RPG/Bazooka dan beberapa tank, panzer, bisa dimaklumi sebab ini markas mereka, tentara lain belum memasuki wilayah yang dijaga ketat tersebut. Memasuki senja, personel bermalam dipinggiran danau sambil mengatur strategi penyerangan. Dikejauhan terlihat kerlip lampu-lampu dari markas pemberontak. Menurut data intelijen lagi, suku-suku di kongo, termasuk pemberontak sangat takut akan Hantu Putih (sosok berpakaian putih yang berbau bawang putih). Nah, disinilah strategi penyamaran diubah. Dibalik pakaian loreng darah mengalir mereka, terbungkus jubah putih yang menggerbang ditiup angin danau. Sambil tidak lupa dengan rantai bawang putih yang baunya harum semerbak.
Persiapan penyerangan dari danau dengan menggunakan kapal yang dicat hitam-hitam pun dipersiapkan. Menunggu jam 12.00 tengah malam. Isyarat serangan pun diberikan oleh sang komandan. Dengan gesit, ke 30 orang personel RPKAD mengambil posisi masing-masing. Penyerangan tepat di mulai jam12.00 tengah malam, dengan kapal yang di digelapkan warnanya di atas Danau Tanganyika, tidak berapa jauh dari daerah "no mand land." Ke 30 personel yang menyamar menjadi "Hantu Putih" ini (atau lebih dikenal masyarakat dengan sprititesses), berhamburan keluar dari dalam kapal, mendobrak pos penjagaan terdepan pemberontak. Para pemberontak yang sangat percaya akan keberadaan Hantu putih ini, kaget, terpana dan ketakutan melihat kelebatan bayangan putih melayang-layang disekitar mereka (jubah putih yang diikat kayu dan tertiup angin) sambil melepaskan rentetan tembakan yang riuh rendah.
Ternyata semangat melawan pemberontak hilang sama sekali, mereka percaya bahwa mereka berhadapan dengan hantu, bukan manusia biasa. Ketika akan didekati, para pemberontak yang disergap itu terkejut, secara reflek melemparkan ayam yang sedang dibakarnya tepat mengenai anggota pasukan Garuda III. Hanya sekitar setengah jam, markas pemberontak dapat di kuasai, Ribuan pemberontak beserta keluarganya menyerah, puluhan yang lain tewas dan luka-luka, sedangkan dipihak RPKAD cedera 1 orang, terkena pecahan proyektil RPG. Dengan sigap, tawanan dikumpulkan. Tidak lama kemudian, bantuan dari pasukan di markas pun tiba, beserta pasukan PBB yang lain dari India, Malaysia, Filipina.
Sejak itu, anggota Garuda III di kenal oleh orang-orang Kongo dengan julukan Les Spiritesses, pasukan yang berperang dengan cara yang tidak biasa dilakukan orang !!. Bisa dibayangkan, dengan hanya berkekuatan 30 orang bisa menawan sekitar 3000an pemberontak bersenjata lengkap!!! Keesokan harinya, pimpinan operasi dan Komandan Garuda III dipanggil menghadap oleh Panglima Pasukan PBB di Kongo, Letnan Jenderal Kadebe Ngeso dari Ethopia. Ia mengatakan bangga dan takjub atas keberhasilan RPKAD Garuda III menawan basis terbesar pemberontak dan 3000an lainnya tanpa jatuh korban. Namun ia kecewa. Tentara Indonesia katanya tidak bertanggungjawab, irresponsible terhadap pemberontak yang ditawan itu. Kenapa sampai dikatakan irresponsible?. Biasanya, standar operasi tentara, jika musuh berkekuatan 3000 orang, harus disergap dengan kekuatan 3 kali lipat, yaitu 9000 personel. Nah, jika 3000 orang musuh dihadapi hanya dengan kekuatan 30 sampai 50 orang, itu namanya irresponsible dan tidak masuk akal. Mustahil dan nekad!! Bagaimana seandainya para pemberontak tersebut melawan? dan ada yang membocorkan taktik Hantu Putih tersebut? tanya panglima PBB di Kongo.
Apapun, sanjungan dan pujian, serta decak kagum tetap di lontarkan, dan strategi penyerangan ini sampai sekarang masih menjadi legenda Misi Pasukan Perdamaian PBB. Mungkin kisah ini banyak yang tidak tahu, terutama masyarakat tanah air sendiri. Yang jelas, ini sudah bukti nyata keberhasilan anak-anak bangsa kita mengharumkan nama Indonesia, RPKAD khususnya di seantero dunia. Jelas cara taktik, muslihat, strategi serangan ini menjadi bahan penyelidikan Pasukan PBB lainnya, dan tentu saja menjadi legenda hingga sekarang.