Conference of The New Emerging Forces (CONEFO) merupakan gagasan Presiden Soekarno untuk membentuk suatu kekuatan blok baru yang beranggotakan negara-negara berkembang untuk menyaingi 2 kekuatan blok sebelumnya (Blok Uni Soviet dan Blok Amerikat Serikat). Untuk keperluan tersebut dibangun suatu kompleks gedung dekat Gelora Senayan yang mendapat bantuan antara lain dari Cina (RRC). Konferensi tersebut belum sempat diselenggarakan dan bangunannya sekarang dipergunakan sebagai Gedung DPR/MPR.
CONEFO dimaksudkan sebagai tandingan terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mungkin saja apa yang dipikirkan soekarno waktu itu adalah bagaimana dunia bisa tertib apabila PBB yang seharusnya berdiri di tengah justru dikuasai oleh negara adidaya. Bagaimana bisa dalam organisasi dunia yang mengusung nilai-nilai demokrasi tetapi kekuatan satu dua negara bersifat mutlak, contohnya adalah hak veto.
Proyek Conefo sama sekali bukan mercu suar dalam pengertian negatif. Dia benar-benar proyek yang dilandaskan pada filosofi tinggi tentang hakikat non-blok yang dicanangkan Bung Karno sejak awal. Indonesia tidak mau menghamba ke Barat, tidak juga menyembah ke Timur. Indonesia adalah negara besar, dengan penduduk yang besar, dan presiden yang besar, yang bisa menyatukan kekuatan negara-negara yang baru merdeka untuk bersatu menjadi satu kekuatan yang harus diperhitungkan.
Dalam pidatonya di markas besar PBB 30 September 1960, Soekarno meminta markas PBB pindah ke tempat yang bebas suasana Perang Dingin. Selain itu ia juga meminta Piagam PBB ditinjau kembali. Tapi suara Soekarno bak mengukir di atas air. Tak berarti apa-apa.
Empat tahun kemudian, 1964, Soekarno mulai mengontak konco-konconya di RRC dan RPA untuk membangun Conefo sebagai kekuatan tandingan. RRC setuju dan RPA pun tiada ragu. Akhir tahun itu juga kedua konco besar Soekarno itu mengirimkan bantuan beberapa kapal berisi bahan bangunan bakal gedung Conefo ke Jakarta. Tepatnya di Senayan sebelah barat Gelora Bung Karno.
Konflik Soekarno dengan Tunku Abdul Rahman dari negara jiran Malaysia menambah semangat Soekarno untuk hengkang dari PBB secepatnya. 31 Desember 1964 Soekarno memberi ultimatum pada PBB. “Jikalau PBB menerima Malaysia sebagai anggota dewan keamanan, kita, Indonesia, akan meninggalkan PBB. Sekarang!”
Seminggu setelah itu, Malaysia diterima PBB dan Seokarno membuktikan janjinya. “Sekarang Indonesia keluar dari PBB. Bagi kita, mahkota kemerdekaan adalah kemampuan untuk terbang dengan sayap sendiri,” tegas Soekarno. Tanggal 20 Januari 1965, surat dilayangkan. Pemerintah Indonesia resmi keluar sebagai anggota PBB per tanggal 1 Januari 1960. Pembangunan gedung Conefo pun dipacu.
Tantangan pun dikeluarkan oleh Soekarno untuk membangun gedung Conefo dengan beberapa syarat yang boleh disebut dahsyat. Bak kisah Roro Jongrang dan Bandung Bondowoso, Seokarno ingin membangun gedung Conefo lebih megah dari markas besar PBB di New York sebagai syarat pertama. Syarat kedua ia harus lebih bagus dari People Palace di Beijing. Ketiga, pembangunan ini harus selesai dalam waktu satu tahun karena Conefo akan diselenggarakan akhir tahun 1966.
“Biaya tak ada masalah,” begitu kira-kira sumbar Soekarno tentang pendanaan gedung ini. Kabarnya semua pengeluaran akan ditanggung bersama oleh anggota The New Emerging Force. Maka dibukalah tender terbatas proyek ini. Tampil sebagai calon palaksana, PN Virama Karya, PN Bina Karya dan tim khusus pimpinan rancangan Menteri PUTL yang dipimpin Sujudi Wijoatmodjo. Akhirnya kelompok terakhir inilah yang memenangkan tender.
Setelah itu dibentuklah Komando Proyek New Emerging Force yang disingkat Kopronef, dipimpin langsung oleh menteri PUTL Mayjen D. Suprayogi. Komando ini membawahi empat tim di bawahnya.Tim I diketuai oleh Dipl Ing, Sujudi, menangani perencanaan. Tim II untuk pendanaan dipimpin Jusuf Muda Dalam. Tim III menangani logistik dan perbekalan dibawah Ir. S. Danugoro, yang agak luar biasa adalah tim IV. Tim terakhir ini menangani masalah pelaksanaan teknis pembangunan dipimpin Ir. Sutami yang menyanggupi tantangan Soekarno untuk menyelesaikan pembangunan ini dalam waktu satu tahun.
Bangunan yang akan dibangun menggunakan filosofi bentuk pesawat, sebuah cita rasa yang sangat kental dengan selera sokarno waktu itu. Sayap pesawat yang terbelah itu ingin menunjukkan pada rakyat dan bangsa kita bahwa saat ini bangsa kita sedang terbang menuju tatanan dunia baru. Bukan menjadi penonton peradaban, tetapi menjadi pelaku peradaban.
Menurut hitung-hitungan normal seharusnya bangunan itu paling cepat bisa diselesaikan dalam waktu lima tahun.
Tiang pertama dipancangkan tanggal 19 April 1965 bersamaan dengan peringatan sepuluh tahun Konferensi Asia Afrika. Berikutnya, karena suasana politik dalam negeri yang panas dan tegang membuat mega proyek ini tersendat-sendat, bahkan nyaris gagal. Beberapa bulan setelah pemancangan tiang pertama meletus tragedi pemberontakan PKI dan proyek itu pun kandas.
Terjadinya pemberontakan G 30 S PKI menjadikan konsentrasi bangsa ini terpecah. Kestabilan politik yang tidak menentu dan secara berangsur perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto yang penuh dengan misteri, menjadikan proyek itu sengsara. Tanpa ruh dan tanpa spirit. Akhirnya Soeharto sebagai pimpinan tertinggi saat itu memutuskan bahwa pembangunan akan tetap terus dilanjutkan, tetapi peruntukannya diubah menjadi Gedung MPR/DPR RI. Sampai saat ini kita bisa melihat gedung itu masih berdiri sebagai saksi sejarah sebuah ambisi besar bangsa kita.
Alangkah tergerusnya hati kita, jika kita mengetahui sejarah tersebut kemudian membandingkannya dengan perilaku para penghuni gedung tersebut.
Alangkah sedihnya, gedung yang semula akan ditempati para utusan dunia untuk mengatur tatanan dunia sekarang ditempati para politikus. Para tikus pengerat yang tidak sedikitpun memberikan contoh yang baik. Perilaku yang amoral sering dipertontonkan di depan mata kita.
Alangkah sedihnya, saat kita sebangsa setanah air menunggu keputusan genting yang penting menyangkut hajat hidup kita, malah kita ditunjukkan dengan aksi baku hantam yang kekanank-kanakan mereka para anggota dewan.
Alangkah nelangsanya, saat konflik di sana sini, masyarakat miskin di mana-mana tetapi justru mereka asyik-asyik menggerogoti dana dengan proyek-proyek amoral. Toliet yang dibangun bermilyar-milyar, ruang rapat sampai 20 Milyar dan semua itu tidak ada substansinya mereka sebagai anggota dewan.
Alangkah sedihnya perilaku mereka, yang menempati gedung yang menyimpan asa, harapan besar. Bukan hanya kepentingan perut dan mulut. Tapi sebuah harapan untuk mengatur seluruh bangsa di dunia.
Semoga mereka tersadar dan mau belajar dari sejarah. Menghargai leluhur dan tidak melanjutkan kemiskinan mereka dalam hal MORAL.