"Idealnya setiap taksa yang ada di nama-nama filum hewan, laut, tumbuhan, itu harus ada taksonomnya. Paling tidak, satu famili ada satu ahli. Idealnya, punya 100 taksonom saja Indonesia sudah terkenal," kata Suharsono saat jumpa pers di P2 Oceanografi LIPI, Ancol, Jakarta, Senin (19/4/2010).
Kurangnya jumlah taksonom Indonesia, menurut Suharsono, dikarenakan ilmu penamaan atau taksonomi kurang diminati masyakarat karena dianggap kurang eksotis. "Karena dia hanya berputar-putar dengan nama, di laboratorium, lapangan. Tidak eksotik, kurang peminatnya, bukan cuma di Indonesia, tapi di luar negeri juga," katanya.
Selain itu, menjadi seorang taksonom yang ahli, kata Suharsono, membutuhkan waktu yang panjang, ketekunan belajar, serta ketelitian yang tinggi. Bahkan, sebagian besar taksonom menghabiskan waktunya di laboratorium sehingga kurang bergaul dengan masyarakat.
"Minimal harus belajar lima tahun lagi. Nama itu enggak boleh dobel, untuk mengecek Anda harus mempelajari semua yang ada, dokumennya tebal, sehingga dia harus tahu semua, dan harus orang yang teliti karena berkutat dengan nomor katalog," tuturnya.
Ditambah lagi, lanjut Suharsono, jumlah museum di Indonesia sebagai salah satu tempat para taksonom bekerja juga masih minim. Padahal, menurutnya, di luar negeri taksonom-taksonom Indonesia laris menjadi kurator.
"Taksonom biasanya kan menjadi kurator di museum-museum. Di luar negeri taksonom Indonesia sangat laris," katanya.
Oleh karena itulah, LIPI bekerja sama dengan Conservation Internasional melelang hak pemberian nama 11 spesies biota laut yang ditemukan di Raja Ampat, Papua Barat, untuk mencari dana dalam membiayai pendidikan calon-calon taksonom Indonesia.
Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/04/19/15265057/Hooiii....Indonesia.Kekurangan.Taksonom-4