KEMISKINAN merupakan keadaan yang tidak disukai oleh semua orang. Kemiskinan mewabah dan menggurita di negeri ini. Kemiskinan layaknya jaringan rantai berputar tak berujung. Di antara kita berteriak, di antara kita berseloroh bahwa kita harus memberantas kemiskinan. Kenyataannya, kita menyukai kemiskinan itu sendiri. Bercumbu dan bermesraan dengan kemiskinan di keseharian. Dipungkiri? Tidak. Ini kenyataan. Kita layak jadi orang miskin. Kita malas, kita peminta-minta, kita konsumtif dan kita bodoh.
Malas sebenarnya bukanlah penyakit baru di abad milenia ini. Malas merupakan penyakit yang sudah berusia ribuan tahun lebih lamanya.
Malas tidak ada obatnya. Hanya diri sendiri yang mampu melawannya. Malas terlahir oleh banyak faktor di antaranya mentalitas—kemalasan terlahir dari diri yang biasa dimanjakan. Enggan melakukan sesuatu yang susah. Memilih sesuatu yang mudah. Enggan bekerja, sebab bekerja berarti berkeringat, berkeringat berarti capek. Bagaimana cara kita untuk menafkahi diri dan keluarga? Bekerja atau berpangku tangan? Bekerja berarti berkeringat. Berkeringat berarti capek. Diantara kita lebih memilih bersantai ria. Apa kita tidak layak jadi orang miskin?
Peminta-minta, diantara kita lebih senang meminta dari pada memberi. Sifat ini terlahir dari banyak faktor diantaranya, sekali lagi, mentalitas.
Pada era Rusululah Muhammad saw pun, cerita-cerita tentang meminta itu sudah ada. Seorang sahabat meminta sedekah pada Rasululah untuk memberi makan anak istrinya, dan Rasululah bertanya, “Punya apa kamu di rumah?”. Sahabat itu menjawab, hanya punya selimut dan tempat memasak. Rasululah meminta membawa keduanya dan menjualnya. Lalu Rasululah membelikan kapak dan membuatkan gagang untuknya. Dan sahabat tersebut disuruhnnya untuk berusaha mencari kayu bakar dan menjualnya di pasar. Beberapa minggu kemudian sahabat tersebut mampu menafkahi keluarganya dengan tidak perlu meminta.
Ironisnya di era sekarang ini meminta merupakan pekerjaan biasa dan bukan sesuatu yang memalukan. Malah mewabah menjadi profesi. Si miskin lebih suka meminta di jalan-jalan atau dari rumah ke rumah dan menolak untuk bekerja. Alasannya, lapangan pekerjaan susah. Klise. Mencari nafkah bukan dengan cara mencari lowongan kerja. Tapi bekerja mencari nafkah halal yang bersifat universal.
Banyak PR besar untuk negeri ini. Pejabat lebih suka meminta segala kebutuhan tetek bengeknya dari anggaran negara atau daerah dengan menghabiskan anggaran orang miskin. Seribu satu alasan legitimasi terciptakan memuluskan mentalitas meminta-minta. Apa kita tidak layak jadi orang miskin?
Konsumtif, coba perhatikan di sekitar kehidupan kita dan keseharian kita. Makanan, pakaian barang-barang di rumah dan lain-lain; berapa persen yang kita konsumsi sesuai dengan kebutuhan kita? Atau lebih banyak kita konsumsi karena keinginan kita? Makanan tidak perlu mewah tapi cukup memenuhi gizi, pakaian tidak berlebihan tapi sopan untuk dipakai. Peralatan di rumah apakah sudah memiliki manfaat maksimal? Konsumsi kita terhadap produk-produk lebih didomonasi rasa prestisius dan gengsi tidak mempertimbangkan banyak faktor. Apa kita tidak layak jadi orang miskin?
Bodoh, barang siapa menghendaki kehidupan dunia hendaklah dengan ilmu, barang siapa menghendaki kehidupan akhirat hendaklah dengan ilmu, barangsiapa menghendaki keduanya hendaklah dengan ilmu. Tidak peduli sekaya apa negeri ini, tidak peduli sebanyak apa warisan dari orang tua atau leluhur kita, kalau kita bodoh, pasti semua akan habis atau diakalin orang. Harga pasti kebodohan adalah membuat kita miskin. Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat. From the beginning of the life until the end of life. Tholabul ilmu madal hayah. Kalau kita bodoh, apa kita tidak layak jadi orang miskin?
Setiap orang orang ingin mengubah keadaan ini, tapi hanya sebatas keinginan saja tidak diikuti pergerakan. Sementara perubahan hanya akan terjadi jika diikuti pergerakan.
Kita lebih senang membicarakan khasiat dari jamu tapi tidak mau meminumnya.
Malas sebenarnya bukanlah penyakit baru di abad milenia ini. Malas merupakan penyakit yang sudah berusia ribuan tahun lebih lamanya.
Malas tidak ada obatnya. Hanya diri sendiri yang mampu melawannya. Malas terlahir oleh banyak faktor di antaranya mentalitas—kemalasan terlahir dari diri yang biasa dimanjakan. Enggan melakukan sesuatu yang susah. Memilih sesuatu yang mudah. Enggan bekerja, sebab bekerja berarti berkeringat, berkeringat berarti capek. Bagaimana cara kita untuk menafkahi diri dan keluarga? Bekerja atau berpangku tangan? Bekerja berarti berkeringat. Berkeringat berarti capek. Diantara kita lebih memilih bersantai ria. Apa kita tidak layak jadi orang miskin?
Peminta-minta, diantara kita lebih senang meminta dari pada memberi. Sifat ini terlahir dari banyak faktor diantaranya, sekali lagi, mentalitas.
Pada era Rusululah Muhammad saw pun, cerita-cerita tentang meminta itu sudah ada. Seorang sahabat meminta sedekah pada Rasululah untuk memberi makan anak istrinya, dan Rasululah bertanya, “Punya apa kamu di rumah?”. Sahabat itu menjawab, hanya punya selimut dan tempat memasak. Rasululah meminta membawa keduanya dan menjualnya. Lalu Rasululah membelikan kapak dan membuatkan gagang untuknya. Dan sahabat tersebut disuruhnnya untuk berusaha mencari kayu bakar dan menjualnya di pasar. Beberapa minggu kemudian sahabat tersebut mampu menafkahi keluarganya dengan tidak perlu meminta.
Ironisnya di era sekarang ini meminta merupakan pekerjaan biasa dan bukan sesuatu yang memalukan. Malah mewabah menjadi profesi. Si miskin lebih suka meminta di jalan-jalan atau dari rumah ke rumah dan menolak untuk bekerja. Alasannya, lapangan pekerjaan susah. Klise. Mencari nafkah bukan dengan cara mencari lowongan kerja. Tapi bekerja mencari nafkah halal yang bersifat universal.
Banyak PR besar untuk negeri ini. Pejabat lebih suka meminta segala kebutuhan tetek bengeknya dari anggaran negara atau daerah dengan menghabiskan anggaran orang miskin. Seribu satu alasan legitimasi terciptakan memuluskan mentalitas meminta-minta. Apa kita tidak layak jadi orang miskin?
Konsumtif, coba perhatikan di sekitar kehidupan kita dan keseharian kita. Makanan, pakaian barang-barang di rumah dan lain-lain; berapa persen yang kita konsumsi sesuai dengan kebutuhan kita? Atau lebih banyak kita konsumsi karena keinginan kita? Makanan tidak perlu mewah tapi cukup memenuhi gizi, pakaian tidak berlebihan tapi sopan untuk dipakai. Peralatan di rumah apakah sudah memiliki manfaat maksimal? Konsumsi kita terhadap produk-produk lebih didomonasi rasa prestisius dan gengsi tidak mempertimbangkan banyak faktor. Apa kita tidak layak jadi orang miskin?
Bodoh, barang siapa menghendaki kehidupan dunia hendaklah dengan ilmu, barang siapa menghendaki kehidupan akhirat hendaklah dengan ilmu, barangsiapa menghendaki keduanya hendaklah dengan ilmu. Tidak peduli sekaya apa negeri ini, tidak peduli sebanyak apa warisan dari orang tua atau leluhur kita, kalau kita bodoh, pasti semua akan habis atau diakalin orang. Harga pasti kebodohan adalah membuat kita miskin. Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat. From the beginning of the life until the end of life. Tholabul ilmu madal hayah. Kalau kita bodoh, apa kita tidak layak jadi orang miskin?
Setiap orang orang ingin mengubah keadaan ini, tapi hanya sebatas keinginan saja tidak diikuti pergerakan. Sementara perubahan hanya akan terjadi jika diikuti pergerakan.
Kita lebih senang membicarakan khasiat dari jamu tapi tidak mau meminumnya.