Ketika Erick berumur 2 tahun, saya melahirkan bayi perempuan yang cantik dan saya beri nama Angelica. Perbedaan kasih sayang yang saya berikan kepada kedua anak itu sangat mencolok. Saya sering membelikan baju-baju bagus untuk Angelica, namun tidak pernah kepada Erick. Setiap Sam berniat membelikannya, selalu saya larang dengan alasan penghematan uang.
Ketika Angelica berumur 2 tahun dan Erick berumur 4 th, Sam meninggal dunia. Kamipun lantas menjadi banyak hutang untuk kebutuhan sehari-hari hingga akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Angelica saya bawa pergi, sementara Erick yang sedang tidur nyenyak kutinggalkan sendirian di rumah.
Selang beberapa tahun kemudian, saya bertemu seorang pria baru bernama Brad dan kamipun menikah. Pada suatu malam, saya bermimpi bertemu seorang bocah laki-laki.
"Nyonya... Nyonya... Apakah nyonya mengenal mama saya? Saya rindu sekali sama mama." katanya sambil tersenyum.
"Siapa namamu, anak manis?" tanya saya.
"Nama saya Erick, nyonya."
"Ya Tuhan! Kamu Erick...???"
Saya tersentak dan langsung terbangun. Sejak itu rasa bersalah selalu menghantui hidup saya. Kenangan saat meninggalkan Erick yang masih bocah umur 4 tahun, benar-benar membuat saya sangat menyesal. Hari ketiga setelah mimpi itu, saya tidak tahan lagi dan akhirnya memutuskan untuk menjemput Erick.
Brad mengantar saya ke sebuah rumah kecil dan kumuh, tempat dimana Erick saya tinggalkan.
"Mary, sebenarnya apa yang telah terjadi...?" tanya Brad tidak mengerti.
"Oh Brad... Kau pasti akan membenci saya setelah mengetahui apa yang telah saya lakukan di masa lalu..."
Sayapun menceritakan semuanya sambil terisak-isak, dan dengan rasa pasrah tentang bagaimanapun reaksi Brad. Namun Tuhan sungguh baik pada saya, memberi saya seorang suami yang penuh pengertian. Brad mendekap saya hingga tangis saya reda, lalu saya keluar dari mobil dan Brad mengikuti saya di belakang. Saya menatap lekat pada sebuah rumah kumuh yang kini berada di depan mata saya. Sejenak saya teringat kembali semua kenangan yang ada di sana 10 tahun lalu hingga saat saya meninggalkan Erick.
Dengan perasaan pilu yang menyayat, saya berlari menghampiri rumah tersebut dan membuka pintu. Namun tidak ada siapapun di dalam kecuali sehelai baju butut yang dahulu biasa dipakai Erick sehari-hari, tergeletak di lantai. Airmata saya mengalir deras. Perasaan saya begitu berkecamuk tak karuan, sulit untuk dilukiskan. Saya keluar dari rumah kumuh yang sudah rusak dan penuh sarang laba-laba itu, lalu diam terpaku beberapa saat.
Ketika saya dan Brad kembali ke mobil untuk meninggalkan tempat itu, tampak seorang wanita tua berpakaian sangat kumal berdiri di belakang mobil kami.
"Hei, siapa Anda..?! Mau apa Anda kemari..?" tegur wanita tua itu dengan suara parau.
"Apakah nyonya mengenal Erick yang dulu tinggal di sini?" tanya saya.
"Kalau Anda ibunya, sungguh terkutuk perbuatan Anda! Tahukah Anda, sejak Anda tinggalkan dia, Erick selalu menunggu dan memanggil mama.. mama.. ! Karena tidak tega, terkadang saya memberinya makan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya miskin hanya sebagai pemulung, saya tidak akan pernah meninggalkan anak saya seperti itu. Tiga bulan lalu Erick meninggalkan surat untuk mamanya. Ia belajar menulis selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untuk Anda."
Langsung saya buka surat itu...
"Mama, kenapa mama tidak pernah kembali lagi..? Mama marah sama Erick, ya? Ma, biarlah Erick saja yang pergi. Tapi mama harus janji jangan marah lagi sama Erick, ya? Bye, mama... Erick selalu menyayangi mama."
Saya menjerit histeris.
"Tolong katakan..! Di mana Erick sekarang..? Saya berjanji tidak akan menyia-nyiakan dia lagi. Tolong saya, nyonya...!!!" desak saya sambil menangis.
"Sudah terlambat, nyonya. Tiga hari lalu Erick baru saja meninggal. Ia meninggal di belakang rumah ini. Ia tidak berani masuk ke dalam karena takut mamanya datang kemudian pergi lagi lantaran melihat dirinya berada di dalam. Ia hanya berharap dapat melihat mamanya dari belakang rumah ini. Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah dan menggigil karena demam yang sangat tinggi, ia tetap bersikeras menunggumu di belakang sana. Tidak ada yang membawanya ke dokter, dan selama ia sakit keras ia sering mengigau menyebut-nyebut mama. Dosa Anda tidak terampuni, nyonya!" ujar wanita tua itu.
Sungguh, saya tersiksa seumur hidup oleh rasa penyesalan saya. Inilah hukuman saya..