Terbentuknya Kopassus tak lepas dari keinginan Panglima Teritorium Kolonel Alex Evert Kawilarang yang menganggap perlunya pasukan kecil, namun efektif untuk melakukan penyusupan. Pandangan ini terngiang di benaknya saat melihat pasukan reguler tak mampu bergerak di medan-medan yang sangat berat.
Berkat usahanya, Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (Kesko TT) terbentuk. Muhammad Idjon Djanbi pun diangkat menjadi komandan sekaligus pelatih pertama.
Setelah berkali-kali berganti nama, mulai dari Kesko TT hingga Kopassandha, 27 orang perwira telah ditunjuk menjadi komandan Kopassus. Beberapa lulusan Kopassus pun sempat menjadi sosok yang fenomenal dan berpengaruh di TNI maupun Indonesia.
Berikut jenderal-jenderal kopassus paling fenomenal versi merdeka.com:
1.Muhammad Idjon Djanbi
Merdeka.com - Sejatinya, nama Idjon Djanbi adalah pendiri, pelatih pertama sekaligus komandan pertama korps pasukan elite TNI AD yang kini bernama Kopassus. Mantan anak buah Idjon Djanbi yang pernah dilatihnya mengenang sosok Idjon sebagai perwira lapangan yang disiplin. Sosoknya langsing dan gesit.
"Pak Idjon suka cek kalau kita jaga malam. Dia sergap dari belakang dengan pisau. Kita berkelahi dulu, baru dia bilang stop, ini komandan kamu. Tujuannya mungkin biar kita siaga," kata Boyoh, mantan anggota angkatan pertama korps baret merah ini saat berbincang dengan merdeka.com.
Idjon Djanbi awalnya bernama Rokus Bernandus Visser. Warga negara Belanda ini bergabung dengan tentara Belanda yang mengungsi ke Inggris. Dia pernah bergabung dalam operasi Market Garden yang dilakukan sekutu untuk merebut Belanda tahun 1944. Setelah itu Visser ikut melakukan operasi amphibi bersama pasukan sekutu.
Karena prestasinya, Visser naik pangkat jadi letnan. Pemerintah Belanda mengirimnya ke Indonesia ketika Jepang kalah dan Belanda ingin berkuasa kembali. Visser menjadi komandan sekolah terjun payung Belanda di Indonesia dengan pangkat kapten.
Setelah perang usai, Visser yang sejak awal bersimpati pada Indonesia memilih pensiun sebagai serdadu. Dia menikah dengan seorang wanita Sunda, kemudian masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Mohammad Idjon Djanbi.
Sekitar tahun 1952, Komandan Teritorium Siliwangi Kolonel Alex Evert Kawilarang bercita-cita mendirikan sebuah pasukan elite untuk menumpas DI/TII. Saat itu pasukan reguler sulit bergerak lincah di hutan Jawa Barat yang masih sangat lebat. Kawilarang pun memanggil Idjon Djanbi dan memaparkan rencananya, sekaligus meminta Idjon menjadi pelatih. Idjon menerima tawaran itu.
"Ternyata dia terima ajakan kami. Dan kemudian kami atur, sehingga dia bisa mendapat pangkat mayor. Selang beberapa waktu, setelah dia bergaul dengan anggota-anggota kita, dia kelihatan merasa betah," ujar Kawilarang dalam biografi 'Untuk Sang Merah Putih' yang ditulis Ramadhan KH.
Idjon Djanbi menyusun kurikulum berdasarkan pengalamannya selama menjadi pasukan elite dan bertempur di Perang Dunia II. Latihan pasukan yang diberi nama Kesatuan Komando TT III Siliwangi ini sangat berat. Dari 400 calon siswa komando, kurang dari setengah yang dinyatakan lulus.
Kepada mereka yang lulus, diberikan baret dan brevet komando. Ketika itu baret warna hitam dicelup dalam air teh beberapa lama sehingga warnanya luntur menjadi coklat kemerahan. Itulah cikal bakal Korps Baret Merah.
"Tahun 1953 kompi komando ini diikutsertakan dalam operasi-operasi menghancurkan DI/TII di daerah Jawa Barat. Hasilnya sangat memuaskan, terutama pada penyergapan konsentrasi gerombolan di Gunung Rakutak," kata Kawilarang.
Idjon menjabat komandan tahun 1952-1956, setelah itu dia pensiun dan digantikan wakilnya Mayor RE Djailani.
2.Sarwo Edhie Wibowo
Merdeka.com - Pria kelahiran Purworejo, Jawa Tengah merupakan putra dari keluarga PNS yang bekerja untuk Kolonial Belanda. Saat ia tumbuh, Sarwo Edhie membentuk kekaguman terhadap Tentara Jepang dan kemenangan mereka melawan Pasukan Sekutu yang ditempatkan di Pasifik dan Asia.
Ketika Jepang menguasai Indonesia, Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk mendaftarkan diri sebagai prajurit Pembela Tanah Air (PETA), yang merupakan kekuatan tambahan Jepang yang terdiri dari tentara Indonesia. Namun, ia kecewa karena tugas pertamanya sebagian besar hanya memotong rumput, membersihkan toilet, dan membuat tempat tidur bagi perwira Jepang.
Selama berlatih, Sarwo menggunakan senjata kayu. Setelah Proklamasi dibacakan, Sarwo kemudian bergabung dengan BKR, sebuah organisasi milisi yang akan menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan membentuk batalion. Namun, usaha itu gagal dan batalion bubar.
Kedekatannya dengan Ahmad Yani membuat mimpinya untuk menjadi tentara kembali menggelora. Apalagi, Yani mengajaknya untuk bergabung dengan batalionnya di Magelang, Jawa Tengah.
Selama di TNI, karier Sarwo Edhie sangat bersinar. Dia pernah menjadi Komandan Batalion di Divisi Diponegoro (1945-1951), Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953), Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961), Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (1962-1964), dan Komandan RPKAD (1964-1967).
Jabatan terakhir ini diembannya berkat bantuan Ahmad Yani. Ketika itu, Yani yang telah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dan menginginkan seseorang yang bisa dia percaya sebagai Komandan RPKAD. Maka, diangkatlah Sarwo Edhie sebagai komandannya.
Tugas pertama yang dilakukan Sarwo Edhie dan pasukannya adalah mengangkat jenazah yang dibunuh PKI dalam peristiwa G30S. Kemudian, dia bergerak untuk membasmi organisasi tersebut Jawa Tengah. Akibat tugas itu, di hadapan DPR tahun 1989, Sarwo Edhie mengaku peristiwa tersebut telah menewaskan 3 juta orang.
3.Prabowo Subianto
Merdeka.com - Lulus dari Akademi Militer Magelang pada 1974, Prabowo Subianto langsung bergabung bersama Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Dua tahun setelahnya, Prabowo ditugaskan sebagai Komandan Pleton Grup I sebagai bagian dari operasi Tim Nanggala di Timor Timur (sekarang Timor Leste) saat usianya masih 26 tahun.
Meski menjabat sebagai komandan termuda, tugas berat dipegang Prabowo selama menjalani pertempuran di Timor Timur. Dia dan pasukannya diperintahkan untuk menangkap wakil ketua Fretilin sekaligus Perdana Menteri pertama Timor Timur Nicolau dos Reis Lobato.
Berkat upaya dan pendekatannya terhadap keluarga Nicolau, Prabowo berhasil mendeteksi keberadaannya di Maubisse, lima puluh kilometer di selatan Dili. Nicolau tewas setelah tertembak di perut saat bertempur di lembah Mindelo pada 31 Desember 1978.
Pretasi gemilangnya tak terhenti sampai di sana, tugas berikutnya yang diberikan pun berhasil diselesaikan dengan baik. Dia dan pasukan berhasul menangkap Xanana Gusmao saat menyandang pangkat letnan kolonel. Keberanaan Xanana diperoleh dari sadapan telepon Ramos Horta di pengasingan.
Berkat prestasinya, Prabowo dipercaya sebagai Wakil Komandan Detasemen 81 Penanggulangan Teror (Gultor) Kopassus pada 1983. Setelah menyelesaikan pelatihan Special Forces Officer Course di Fort Benning, Amerika Serikat, Prabowo diberi tanggungjawab sebagai Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara.
Pada 1995, ia sudah mencapai jabatan Komandan Komando Pasukan Khusus, dan hanya dalam setahun sudah menjadi Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus. Prabowo pula yang mengirim Tim Nasional Indonesia untuk mengibarkan Merah Purih di Puncak Gunung Everest pada 26 April 1997. Ekspedisi dimulai pada tanggal 12 Maret 1997 dari Phakding, Nepal.
Sukses memimpin Kopassus, Prabowo diserahi tugas sebagai Pangkostrad yang membawahi pasukan cadangan ABRI yang jumlahnya mencapai sekitar 11 ribu prajurit. Saat itu, Prabowo dimintai pertolongan oleh Panglima Kodam Jaya untuk mengamankan Jakarta. Permintaan ini dipenuhi Prabowo dengan membantu mengamankan sejumlah bangunan penting, khususnya rumah dinas Wakil Presiden BJ Habibie di Kuningan.
Jabatan Pangkostrad terpaksa dilepasnya karena diberhentikan oleh Presiden Habibie pada 22 Mei 1998. Penghentian itu tak lepas dari keputusan Prabowo yang menggerakkan pasukan Kostrad dari berbagai daerah menuju Jakarta di luar komando resmi Panglima ABRI Jenderal Wiranto.
Posisi Prabowo kemudian digantikan oleh Johny Lumintang yang hanya menjabat sebagai Pangkostrad selama 17 jam, dan kemudian digantikan oleh Djamari Chaniago. Setelah pemecatan tersebut, Prabowo menemui Presiden Habibie, dan sempat terlibat perdebatan yang sengit.
Setelah itu Prabowo menempati posisi baru sebagai Komandan Sekolah Staf Komando (Dansesko) ABRI menggantikan Letjen Arie J Kumaat. Selanjutnya, Prabowo harus menjalani sidang Dewan Kehormatan Perwira karena Prabowo disinyalir terlibat dalam penculikan aktivis saat masih menjabat sebagai Danjen Kopassus.
15 Perwira tinggi bintang tiga dan empat mengusulkan ke Pangab Wiranato agar Prabowo dipecat. Hal itu dianggap sebagai akhir karier militer Prabowo.
4.Sintong Panjaitan
Merdeka.com - Pria asal Tarutung, Sumatera Utara ini semula mencoba peruntungannya dengan memasuki dunia militer dan melamar ke Akademi Angkatan Udara. Sembari menunggu kelulusannya, Sintong Panjaitan juga mengikuti ujian masuk Akademi Militer Nasional dan lulus dengan pangkat letnan dua.
Selanjutnya, Sintong mengikuti sekolah dasar cabang Infantri dan lulus pada tanggal 27 Juni 1964. Setelah itu, dia ditempatkan sebagai perwira pertama Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD-kini Kopassus).
Operasi tempur pertamanya dijalani pada Agustus 1964-Februari 1965 untuk menumpas pergerakan gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Selanjutnya, dia mengikuti pendidikan dasar komando di Pusat Pendidikan Para Komando AD di Batujajar. Atribut Komando diperolehnya di Pantai Permisan pada 1 Agustus 1965, dan kembali ke Batujajar untuk pendidikan dasar Para dan mengalami 3 kali terjun.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Sintong kembali menerima perintah untuk diterjunkan di Kuching, Serawak, Malaysia Timur sebagai bagian dari Kompi Sukarelawan Pembebasan Kalimantan Utara dalam rangka Konfrontasi Malaysia. Pria kelahiran 4 September 1940 ini juga terlibat dalam penumpasan G30S di bawah pimpinan Lettu Feisal Tanjung
Ketika itu, Sintong memimpin Peleton 1 untuk merebut kantor pusat Radio Republik Indonesia (RRI), yang memungkinkan Kapuspen-AD, Brigjen TNI Ibnu Subroto menyiarkan amanat Mayjen TNI Soeharto. Sintong juga turut serta dalam mengamankan Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, dan memimpin anak buahnya dalam penemuan sumur tua di Lubang Buaya.
Kemudian Sintong dilibatkan dalam tugas operasi pemulihan keamanan dan ketertiban di Jawa Tengah, untuk memimpin Peleton 1 di bawah kompi Tanjung beroperasi memberantas pendukung G30S di Semarang, Demak, Blora, Kudus, Cepu, Salatiga, Boyolali, Yogyakarta hingga lereng timur Gunung Merapi.
Sintong Panjaitan adalah pemimpin Grup-1 Para Komando yang terjun dalam operasi kontra-terorisme pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla. Operasi ini dijalankan saat berpangkat letnan kolonel. Walaupun terdapat dua korban jiwa, operasi itu dinilai sukses, sehingga ia beserta tim-nya dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat.
Keterlibatannya dalam operasi militer di daerah Timor Timur membuat Sintong diangkat menjadi Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana yang mencakup Provinsi Timor Timur. Namun, Insiden Dili yang terjadi di pemakaman Santa Cruz, 11 November 1991 membuatnya dicopot. Peristiwa ini disinyalir menjadi akhir dari karier militer Sintong.
5.Benny Moerdani
Merdeka.com - Setelah proklamasi, Leonardus Benyamin Moerdani alias LB Moerdani terjebak dalam gelombang nasionalisme. Ketika masih berusia 13, Benny ambil bagian dalam serangan terhadap markas Kempetai di Solo karena menolak untuk menyerah kepada pasukan Indonesia.
Ketika Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk, Benny bergabung dengan Tentara Pelajar yang berada di bawah otoritas dari Brigade ABRI. Dari brigade ini, Benny mengambil bagian dalam Revolusi Nasional Indonesia melawan Belanda, dia berpartisipasi dalam sebuah serangan umum yang sukses di Solo.
Setelah pengakuan kedaulatan NKRI, pimpinan ABRI menanggap Brigade Moerdani telah melakukan tugas cukup baik dan para prajuritnya terus bertugas dengan ABRI. Dia dan pasukannya terdaftar dalam Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) dan mulai pelatihan pada bulan Januari 1951. Pada saat yang sama, Benny juga mengambil bagian dalam Sekolah Pelatihan Infanteri (SPI).
Kemudian, tepatnya tahun 1954, Benny menerima pangkat letnan dua dan ditempatkan di TT/III Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dua terlibat dalam upaya meredakan pemberontakan Darul Islam di bawah Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (KESKO TT III).
Keberhasilan mereka menarik Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta untuk mendukung pembentukan Satuan Pasukan Khusus. Dengan demikian, pada tahun 1954, Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD) dibentuk. Benny ditugaskan sebagai pelatih bagi para prajurit yang ingin bergabung dengan KKAD dan diangkat sebagai Kepala Biro Pengajaran. Pada tahun 1956, KKAD mengalami perubahan nama menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Tidak lama setelah itu, Benny diangkat menjadi Komandan Kompi.
Setelah itu, berbagai medan pertempuran dijalani Benny, mulai dari melawan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera, kelompok separatis yang berbasis di Sumatera dan Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi. Dia pernah diterjunkan ke Papua menjelan penentuan pendapat, hingga gerilya melawan serdadu Malaysia dan Inggris di pedalaman Kalimantan.
Pada 1964, Jenderal Ahmad Yani memerintahkan Benny untuk berpindah dari RPKAD ke Kostrad. Benny menyerahkan komando batalyon RPKAD nya pada tanggal 6 Januari 1965. Setelah peristiwa G30S, karier militernya meningkat, Soeharto memberikannya posisi yang membuatnya memiliki banyak kekuasaan yakni Asisten Intelijen Menteri Pertahanan dan Keamanan, Asisten Intelijen Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), Kepala Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), dan Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Pada 1975, Benny menjadi terlibat dengan masalah dekolonisasi Timor Timur. Bulan Agustus, Benny mengirimkan tentara Indonesia dengan kedok relawan untuk mulai menyusup ke Timor Timur. Ketika Fretilin memproklamasikan kemerdekaan Timor Timur, operasi dihentikan dan berganti menjadi operasi Seroja dimulai sebagai gantinya.
Meskipun operasi itu bukan sebuah operasi intelijen, Benny terus terlibat, kali ini sebagai perencana invasi. Metodenya dalam merencanakan invasi memicu kemarahan dari rekan-rekan karena dilakukan tanpa sepengetahuan perwira komando tinggi, seperti Wakil Panglima ABRI Surono Reksodimedjo dan Pangkostrad Leo Lopulisa yang seharusnya terlibat dalam proses perencanaan.
Maret 1983, Benny ditunjuk sebagai Panglima TNI. Posisi itu membuatnya secara de facto dalam aspek sosial dan politik di Republik Indonesia saat itu, setelah Soeharto.
Meski begitu, peristiwa Tanjung Priok pada 1984 membuatnya mendapat stigma negatif. Bersama Panglima Kodam V/Jaya, Try Sutrisno, keduanya memerintahkan menggunakan kekerasan terhadap demonstran hingga mengakibatkan kematian.
Benny membela diri bahwa para demonstran telah terprovokasi dan tidak bisa dikendalikan secara damai dan sebagai hasilnya ia memerintahkan tindakan keras. Untuk memperbaiki citranya, Benny bersikeras melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah Muslim di seluruh Jawa.
(sumber)