Indonesia kaya akan tradisi kuliner. Dari Sabang sampai Merauke, kita bisa menemukan sajian-sajian khas Nusantara. Kenikmatan kuliner Indonesia pun tercium hingga ke penjuru dunia.
Seorang Antropolog asal Australia, Angie Bexley, bahkan melakukan penelitian pada 2014 silam saking tertariknya dia terhadap kuliner Tanah Air.
Bexley yang bersuamikan koki asal Indonesia itu terlibat dalam proyek yang mengeksplorasi ramuan dan metode memasak ala Indonesia.
Dari rendang di Sumatera Barat, gudeg di Solo, pempek di Palembang, dodol di Garut, sampai gado-gado di Jakarta, Indonesia adalah surga bagi para pencinta kuliner. Sayang, lumpia atau juga dikenal dengan lunpia, salah satu kuliner istimewa kota Semarang, hendak diakui sebagai makanan tradisional Malaysia.
Padahal, dalam sejarahnya kenikmatan rasa lunpia adalah 'pernikahan rasa' antara Tiongkok dan Indonesia. Lunpia Semarang, makanan sejenis rollade ini berisi rebung, telur, daging ayam, atau udang.
Sebagai makanan khas daerah Semarang, keberadaan lumpia mendapat saingan dari berbagai kota. Namun, dia mampu bertahan sebagai makanan khas Kota Semarang, dan semakin digemari oleh masyarakat.
Salah satu keistimewaan lumpia terletak pada cita-rasanya yang sangat menonjolkan khas kuliner Semarang, yakni manis dan asin. Seperti yang dilansir oleh CNN Indonesia dari berbagai sumber, menurut sejarahnya, lumpia Semarang ada pertama kali pada abad ke-19.
Kuliner ini adalah perpaduan budaya asli Tionghoa dan Jawa. Mereka menyatu dalam cita rasa. Mulanya, Tjoa Thay Joe, lelaki kelahiran provinsi Fujian Tiongkok, memutuskan untuk tinggal dan menetap di Semarang.
Di kota yang dijuluki sebagai The Vort of Java itu, Tjoa Thay Joe membuka bisnis kuliner. Dia menjual makanan pelengkap berisi daging babi dan rebung. Tjoa Thay Joe kemudian bertemu seorang perempuan asli Jawa bernama Wasih.
Wasih adalah perempuan Jawa yang juga berjualan makanan yang hampir sama, hanya rasanya lebih manis, berisi kentang dan udang. Seiring berjalannya waktu, dua pedagang dari suku berbeda itu tidak menganggap satu sama lain sebagai musuh. Sebaliknya, Tjoa dan Wasih saling menaruh hati, dan memutuskan menikah.
Perpaduan rasa Tionghoa dan Jawa
Bisnis makanan Tjoa dan Wasih akhirnya melebur setelah mereka mengikat tali pernikahan. Tercipta sentuhan kuliner baru. Hidangan baru ini saling melengkapi kesempurnaan makanan lintas budaya Tionghoa dan Jawa.
Isi kulit lumpia diganti dengan ayam atau udang dicampur rebung serta dibungkus dengan kulit lumpia. Keulungan sajian baru ini adalah udang dan telurnya yang tidak berbau amis, rasa rebungnya yang manis, serta kulit lumpia yang renyah setelah digoreng.
Jajanan ini biasa dipasarkan di Olympia Park, yaitu pasar malam Belanda. Di situ, Tjoa dan Wasih biasa berjualan berdua. Itu sebabnya mengapa makanan ini kemudian dikenal dengan nama lumpia.
Usaha suami istri itu kian besar. Hingga di kemudian hari anak-anak merekalah yang meneruskan usaha lumpia tersebut. Siem Gwan Sing, Siem Hwa Noi membuka cabang di Mataram. Sementara, Siem Swie Kiem meneruskan usaha warisan orang tuanya di Gang Lombok nomor 11.
Seorang Antropolog asal Australia, Angie Bexley, bahkan melakukan penelitian pada 2014 silam saking tertariknya dia terhadap kuliner Tanah Air.
Bexley yang bersuamikan koki asal Indonesia itu terlibat dalam proyek yang mengeksplorasi ramuan dan metode memasak ala Indonesia.
Dari rendang di Sumatera Barat, gudeg di Solo, pempek di Palembang, dodol di Garut, sampai gado-gado di Jakarta, Indonesia adalah surga bagi para pencinta kuliner. Sayang, lumpia atau juga dikenal dengan lunpia, salah satu kuliner istimewa kota Semarang, hendak diakui sebagai makanan tradisional Malaysia.
Padahal, dalam sejarahnya kenikmatan rasa lunpia adalah 'pernikahan rasa' antara Tiongkok dan Indonesia. Lunpia Semarang, makanan sejenis rollade ini berisi rebung, telur, daging ayam, atau udang.
Sebagai makanan khas daerah Semarang, keberadaan lumpia mendapat saingan dari berbagai kota. Namun, dia mampu bertahan sebagai makanan khas Kota Semarang, dan semakin digemari oleh masyarakat.
Salah satu keistimewaan lumpia terletak pada cita-rasanya yang sangat menonjolkan khas kuliner Semarang, yakni manis dan asin. Seperti yang dilansir oleh CNN Indonesia dari berbagai sumber, menurut sejarahnya, lumpia Semarang ada pertama kali pada abad ke-19.
Kuliner ini adalah perpaduan budaya asli Tionghoa dan Jawa. Mereka menyatu dalam cita rasa. Mulanya, Tjoa Thay Joe, lelaki kelahiran provinsi Fujian Tiongkok, memutuskan untuk tinggal dan menetap di Semarang.
Di kota yang dijuluki sebagai The Vort of Java itu, Tjoa Thay Joe membuka bisnis kuliner. Dia menjual makanan pelengkap berisi daging babi dan rebung. Tjoa Thay Joe kemudian bertemu seorang perempuan asli Jawa bernama Wasih.
Wasih adalah perempuan Jawa yang juga berjualan makanan yang hampir sama, hanya rasanya lebih manis, berisi kentang dan udang. Seiring berjalannya waktu, dua pedagang dari suku berbeda itu tidak menganggap satu sama lain sebagai musuh. Sebaliknya, Tjoa dan Wasih saling menaruh hati, dan memutuskan menikah.
Perpaduan rasa Tionghoa dan Jawa
Bisnis makanan Tjoa dan Wasih akhirnya melebur setelah mereka mengikat tali pernikahan. Tercipta sentuhan kuliner baru. Hidangan baru ini saling melengkapi kesempurnaan makanan lintas budaya Tionghoa dan Jawa.
Isi kulit lumpia diganti dengan ayam atau udang dicampur rebung serta dibungkus dengan kulit lumpia. Keulungan sajian baru ini adalah udang dan telurnya yang tidak berbau amis, rasa rebungnya yang manis, serta kulit lumpia yang renyah setelah digoreng.
Jajanan ini biasa dipasarkan di Olympia Park, yaitu pasar malam Belanda. Di situ, Tjoa dan Wasih biasa berjualan berdua. Itu sebabnya mengapa makanan ini kemudian dikenal dengan nama lumpia.
Usaha suami istri itu kian besar. Hingga di kemudian hari anak-anak merekalah yang meneruskan usaha lumpia tersebut. Siem Gwan Sing, Siem Hwa Noi membuka cabang di Mataram. Sementara, Siem Swie Kiem meneruskan usaha warisan orang tuanya di Gang Lombok nomor 11.