Di abad informasi, tidak ada yang lebih berpengaruh daripada televisi. Sejak Farm Sworth dari Amerika Serikat menemukan televisi pada 1927 dan mulai masuk ke Indonesia sesudah pertengahan abad ke-20, televisi menjadi media yang sangat berpengaruh bagi semua kalangan. Pengaruh televisi yang semakin hegemonik telah menjadi bagian dari dinamika kehidupan. Tak heran jika banyak pihak yang mengatakan bahwa hidup tanpa televisi ibarat hidup tanpa makan.
Begitu banyak masyarakat yang kontak dengan televisi setiap hari. Di ruang keluarga, kamar tidur, lobi hotel, bahkan di dalam kendaraan televisi bercokol. Program televisi yang dikemas sedemikian rupa, disajikan dengan format audio visual, mengkonstruksi pikiran publik secara tak sadar. Besarnya animo publik terhadap televisi membuat industri media bersaing merebut “kue” pemirsa dengan mata acara yang dianggap memiliki nilai lebih dibandingkan media lain. Begitu banyak tayangan menarik yang disajikan demi mengalihkan perhatian publik. Mulai dari berita, sinetron, kuis, infotainment, sampai realitas buatan yang disulap menjadi fakta objektif.
Yang menjadi persoalan, adalah televisi saat ini kurang berpihak pada kepentingan publik. Atas nama rating dan iklan, mayoritas stasiun TV menomorsekiankan aspek dampak negatifnya. Dan bisa ditebak akibatnya, masyarakat menjadi korban karena dibiarkan menyaring sendiri tayangan mana yang layak ditonton, dan mana yang tidak.
Banyak tayangan televisi yang tidak mempertimbangkan aspek psikologis. Kasus meninggalnya anak laki-laki akibat tayangan smack down akhir tahun 2005 silam menunjukkan betapa besar peran industri media dalam membentuk pola pikir dan perilaku anak-anak. Adopsi gaya hidup dan serapan nilai konsumerisme melalui televisi juga menjadi bagian dari realitas sosial yang amat memprihatinkan. Hal ini terbukti dengan semakin bergesernya nilai dan norma sosial pada diri anak-anak dan remaja.
Hal yang sama juga tejadi pada acara infotainment, yang sudah menjadi kebutuhan mayoritas masyarakat Indonesia, terutama di kalangan ibu-ibu rumah tangga serta remaja perempuan. Konstruksi pemirsa infotainment dibangun berdasarkan stereotipikasi terhadap sifat perempuan yang suka bergosip. Yang perlu kita garis bawahi lagi adalah acara tersbut begitu mendominasi. Mulai pagi buta, beberapa stasiun televisi sudah menghadirkan isu-isu hangat tentang para artis. Ini masih subuh, kalau rajin mengikuti, acara itu masih akan berlanjut hingga sore habis maghrib. Tentunya dengan format dan stasiun televisi yang berbeda.
Semenjak kemunculannya pada tahun 1994, kiprah tayangan infotainment memang bisa dibilang sangat luar biasa. Buktinya, stasiun televisi seakan berlomba menayangkan program acara yang menyajikan berita seputar selebritis ini. Bahkan menurut hasil survei Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Maret 2006 tayangan infotainment telah mengisi 63 persen tayangan televisi Indonesia. Woow, angka yang fantastis!
Untuk saat ini saja terdapat tak kurang dari 26 acara infotainment. Dalam sehari tersuguh 15 sampai 23 tayangan infotainment di sembilan stasiun televisi. Yang berarti dalam seminggu tidak kurang dari 150 tayanganyang disodorkan kepada pemirsa.
Lalu timbulah pertanyaan di benak kita; dengan porsi siaran sebesar itu, perlukah infotainment terus eksis?
Pertama, kita akui bersama bahwa yang namanya public figure itu adalah sorotan dan terkadang panutan. Masyarakat selalu menunggu kabar terbaru dari public figure favoritnya.
Sebenarnya yang namanya public figure atau selebritis tidak hanya artis, yang notabene berprofesi sebagai bintang film, sinetron, penyanyi, musisi, presenter kondang, dan laing sebagainya, tapi juga politikus, ustadz, olahragawan, dan lainnya. Meskipun begitu harus diakui masyarakat kita lebih tinggi untuk mengidolakan artis dibanding politikus dan lainnya. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya program infotainment.
Kedua, Indonesia mengusung kebebasan berpendapat dan termasuk kebebasan pers. Inilah yang menyebabkan infotainment berkembang dan bahkan telah menjamur di Indonesia.
Pemirsa kita disuguhi tayangan-tayangan rahasia pribadi para selebriti kita, mulai dari gaya hedonisme mereka, cara pacaran mereka, pernikahan terselubung mereka, perselingkuhan mereka, pisah ranjang mereka, perceraian mereka, hingga kemampuan seks mereka. Semuanya dijadikan tontotan. Wooow sampai sejauh itu ya?. Lebih mengherankan lagi, kenapa yang lebih banyak disorot bukan bagaimana perjuangan si artis sehingga menjadi artis besar, apa kiat-kiatnya, bagaimana dia berjuang, kemudian mengajak orang lain agar bisa semaju seperti dia. Dan kenapa mayoritas penyaji infotainment kita tidak berpikir positif terhadap kebahagiaan dan kesuksesan orang lain? Apakah hal seperti ini tidak menarik jadi berita? Dan entah disadari atau tidak oleh para pemilik media, sebagian para penontonnya, adalah remaja-remaja putri, anak-anak di bawah umur, yang belum tentu punya daya saring yang baik.
Melihat berita-berita yang ditayangkan itulah, yang kebanyakan adalah menyangkut hal-hal pribadi dan tidak seyogyanya untuk diekspos ke publik. Maka tidaklah heran, apabila hasil keputusan Munas Alim Ulama NU yang salah satunya fatwa melarang warganya untuk menonton infotainment. Walau masih pro-kontra di kalangan masyarakat, setidaknya fatwa ulama NU tersbut diharapkan bisa mengerem dampak keburukan dari tayangan infotainment tersebut. Di sini, para ulama itu melihat bahwa infotainment saat ini sudah mendekati ghibah alias pergunjingan, sedang agama Islam jelas melarangnya. Bagaimana mungkin berita tidak jelas bisa diberitakan?
Sekali lagi, yang paling fenomenal yang tak sempat terpikirkan oleh mungkin siapapun juga, adalah pengaruh infotainment itu terhadap perilaku generasi penerus bangsa, yang memang menjadi sasaran infotainment. Anak-anak sekarang, seperti yang dilansir Harian Kompas Edisi 26 Januari 2006 silam, “anak-anak kecil sudah terbiasa dengan kata-kata, seperti “kutukan”, “anak durhaka”, “nikah siri”, “selingkuh”, “istri simpanan” suatu bahasa yang sebenarnya tidak layak untuk mereka ucapkan”.
Ini artinya, infotainment yang begitu dibanggakan para pemilik stasiun televisi, telah menjadi virus baru dalam kebudayaan populer indonesia. Jadi secara pribadi, ini bukanlah tontonan rakyat, tapi merupakan suatu infiltrasi budaya, - entah itu disengaja atau tidak - yang mengatasnamakan dirinya jurnalisme informasi dan hiburan.
Melalui infotainment, masyarakat dapat merasa dekat dengan selebriti yang gaya hidupnya jauh di awang-awang, berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Jarak yang jauh itu terjembatani oleh media massa. Masyarakat dapat merasakan seolah-olah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari para selebriti.
Selanjutnya mereka mengembangkan sikap-sikap tertentu, suka atau tidak, kepada tokoh yang ditampilkan seperti mereka berkomentar terhadap orang-orang yang dikenalnya. Lebih jauh lagi, gaya hidup para selebriti pun akhirnya diadopsi menjadi gaya hidup anggota masyarakat lainnya.
Namun, dalam hal ini penting untuk tetap membedakan antara impian dan kenyataan. Bagaimanapun, kita harus berpijak pada kenyataan: menerima diri apa adanya dan mengembangkan gaya hidup sesuai kemampuan sembari terus berusaha meraih apa yang diimpikan.
Perkembangan tidak sehat terjadi bila seseorang tidak bisa lagi membedakan antara impian dan kenyataan. Sebagai orang biasa yang tidak populer, ia merasa diri populer, mengharapkan perlakuan istimewa dari orang lain, bila perlu dengan "menuntut" dan “menabrak” etika.
Mimpi yang belum menjadi kenyataan, ada kalanya membuat seseorang frustrasi dan mulai menyalahkan orang lain. Dalam situasi ini orang terjebak ke dalam dunia subjektif: tidak mampu lagi merefleksikan berbagai situasi secara objektif; ego berfungsi kelewat ekstrem dalam mengejar kepuasan atas berbagai dorongan dari alam bawah sadar.
Dampak lainnya adalah sedikit demi sedikit masyarakat kita akan suka mencari-cari kejelekan orang lain dan mengunjingkannya. Orang cenderung lebih senang melihat kejelekan dan penderitaan orang lain dan tidak suka terhadap kesuksesan orang lain.
Dan kalau sikap bermasyarakat kita menjadi sedemikian bobroknya karena terbiasa dicekoki tayangan-tayangan seperti itu sehingga orang cenderung kurang menghargai kerja keras, akan tetapi malah timbul rasa iri dan dengki. Siapa yang akan bertanggung jawab?
Begitu banyak masyarakat yang kontak dengan televisi setiap hari. Di ruang keluarga, kamar tidur, lobi hotel, bahkan di dalam kendaraan televisi bercokol. Program televisi yang dikemas sedemikian rupa, disajikan dengan format audio visual, mengkonstruksi pikiran publik secara tak sadar. Besarnya animo publik terhadap televisi membuat industri media bersaing merebut “kue” pemirsa dengan mata acara yang dianggap memiliki nilai lebih dibandingkan media lain. Begitu banyak tayangan menarik yang disajikan demi mengalihkan perhatian publik. Mulai dari berita, sinetron, kuis, infotainment, sampai realitas buatan yang disulap menjadi fakta objektif.
Yang menjadi persoalan, adalah televisi saat ini kurang berpihak pada kepentingan publik. Atas nama rating dan iklan, mayoritas stasiun TV menomorsekiankan aspek dampak negatifnya. Dan bisa ditebak akibatnya, masyarakat menjadi korban karena dibiarkan menyaring sendiri tayangan mana yang layak ditonton, dan mana yang tidak.
Banyak tayangan televisi yang tidak mempertimbangkan aspek psikologis. Kasus meninggalnya anak laki-laki akibat tayangan smack down akhir tahun 2005 silam menunjukkan betapa besar peran industri media dalam membentuk pola pikir dan perilaku anak-anak. Adopsi gaya hidup dan serapan nilai konsumerisme melalui televisi juga menjadi bagian dari realitas sosial yang amat memprihatinkan. Hal ini terbukti dengan semakin bergesernya nilai dan norma sosial pada diri anak-anak dan remaja.
Hal yang sama juga tejadi pada acara infotainment, yang sudah menjadi kebutuhan mayoritas masyarakat Indonesia, terutama di kalangan ibu-ibu rumah tangga serta remaja perempuan. Konstruksi pemirsa infotainment dibangun berdasarkan stereotipikasi terhadap sifat perempuan yang suka bergosip. Yang perlu kita garis bawahi lagi adalah acara tersbut begitu mendominasi. Mulai pagi buta, beberapa stasiun televisi sudah menghadirkan isu-isu hangat tentang para artis. Ini masih subuh, kalau rajin mengikuti, acara itu masih akan berlanjut hingga sore habis maghrib. Tentunya dengan format dan stasiun televisi yang berbeda.
Semenjak kemunculannya pada tahun 1994, kiprah tayangan infotainment memang bisa dibilang sangat luar biasa. Buktinya, stasiun televisi seakan berlomba menayangkan program acara yang menyajikan berita seputar selebritis ini. Bahkan menurut hasil survei Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Maret 2006 tayangan infotainment telah mengisi 63 persen tayangan televisi Indonesia. Woow, angka yang fantastis!
Untuk saat ini saja terdapat tak kurang dari 26 acara infotainment. Dalam sehari tersuguh 15 sampai 23 tayangan infotainment di sembilan stasiun televisi. Yang berarti dalam seminggu tidak kurang dari 150 tayanganyang disodorkan kepada pemirsa.
Lalu timbulah pertanyaan di benak kita; dengan porsi siaran sebesar itu, perlukah infotainment terus eksis?
Pertama, kita akui bersama bahwa yang namanya public figure itu adalah sorotan dan terkadang panutan. Masyarakat selalu menunggu kabar terbaru dari public figure favoritnya.
Sebenarnya yang namanya public figure atau selebritis tidak hanya artis, yang notabene berprofesi sebagai bintang film, sinetron, penyanyi, musisi, presenter kondang, dan laing sebagainya, tapi juga politikus, ustadz, olahragawan, dan lainnya. Meskipun begitu harus diakui masyarakat kita lebih tinggi untuk mengidolakan artis dibanding politikus dan lainnya. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya program infotainment.
Kedua, Indonesia mengusung kebebasan berpendapat dan termasuk kebebasan pers. Inilah yang menyebabkan infotainment berkembang dan bahkan telah menjamur di Indonesia.
Pemirsa kita disuguhi tayangan-tayangan rahasia pribadi para selebriti kita, mulai dari gaya hedonisme mereka, cara pacaran mereka, pernikahan terselubung mereka, perselingkuhan mereka, pisah ranjang mereka, perceraian mereka, hingga kemampuan seks mereka. Semuanya dijadikan tontotan. Wooow sampai sejauh itu ya?. Lebih mengherankan lagi, kenapa yang lebih banyak disorot bukan bagaimana perjuangan si artis sehingga menjadi artis besar, apa kiat-kiatnya, bagaimana dia berjuang, kemudian mengajak orang lain agar bisa semaju seperti dia. Dan kenapa mayoritas penyaji infotainment kita tidak berpikir positif terhadap kebahagiaan dan kesuksesan orang lain? Apakah hal seperti ini tidak menarik jadi berita? Dan entah disadari atau tidak oleh para pemilik media, sebagian para penontonnya, adalah remaja-remaja putri, anak-anak di bawah umur, yang belum tentu punya daya saring yang baik.
Melihat berita-berita yang ditayangkan itulah, yang kebanyakan adalah menyangkut hal-hal pribadi dan tidak seyogyanya untuk diekspos ke publik. Maka tidaklah heran, apabila hasil keputusan Munas Alim Ulama NU yang salah satunya fatwa melarang warganya untuk menonton infotainment. Walau masih pro-kontra di kalangan masyarakat, setidaknya fatwa ulama NU tersbut diharapkan bisa mengerem dampak keburukan dari tayangan infotainment tersebut. Di sini, para ulama itu melihat bahwa infotainment saat ini sudah mendekati ghibah alias pergunjingan, sedang agama Islam jelas melarangnya. Bagaimana mungkin berita tidak jelas bisa diberitakan?
Sekali lagi, yang paling fenomenal yang tak sempat terpikirkan oleh mungkin siapapun juga, adalah pengaruh infotainment itu terhadap perilaku generasi penerus bangsa, yang memang menjadi sasaran infotainment. Anak-anak sekarang, seperti yang dilansir Harian Kompas Edisi 26 Januari 2006 silam, “anak-anak kecil sudah terbiasa dengan kata-kata, seperti “kutukan”, “anak durhaka”, “nikah siri”, “selingkuh”, “istri simpanan” suatu bahasa yang sebenarnya tidak layak untuk mereka ucapkan”.
Ini artinya, infotainment yang begitu dibanggakan para pemilik stasiun televisi, telah menjadi virus baru dalam kebudayaan populer indonesia. Jadi secara pribadi, ini bukanlah tontonan rakyat, tapi merupakan suatu infiltrasi budaya, - entah itu disengaja atau tidak - yang mengatasnamakan dirinya jurnalisme informasi dan hiburan.
Melalui infotainment, masyarakat dapat merasa dekat dengan selebriti yang gaya hidupnya jauh di awang-awang, berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Jarak yang jauh itu terjembatani oleh media massa. Masyarakat dapat merasakan seolah-olah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari para selebriti.
Selanjutnya mereka mengembangkan sikap-sikap tertentu, suka atau tidak, kepada tokoh yang ditampilkan seperti mereka berkomentar terhadap orang-orang yang dikenalnya. Lebih jauh lagi, gaya hidup para selebriti pun akhirnya diadopsi menjadi gaya hidup anggota masyarakat lainnya.
Namun, dalam hal ini penting untuk tetap membedakan antara impian dan kenyataan. Bagaimanapun, kita harus berpijak pada kenyataan: menerima diri apa adanya dan mengembangkan gaya hidup sesuai kemampuan sembari terus berusaha meraih apa yang diimpikan.
Perkembangan tidak sehat terjadi bila seseorang tidak bisa lagi membedakan antara impian dan kenyataan. Sebagai orang biasa yang tidak populer, ia merasa diri populer, mengharapkan perlakuan istimewa dari orang lain, bila perlu dengan "menuntut" dan “menabrak” etika.
Mimpi yang belum menjadi kenyataan, ada kalanya membuat seseorang frustrasi dan mulai menyalahkan orang lain. Dalam situasi ini orang terjebak ke dalam dunia subjektif: tidak mampu lagi merefleksikan berbagai situasi secara objektif; ego berfungsi kelewat ekstrem dalam mengejar kepuasan atas berbagai dorongan dari alam bawah sadar.
Dampak lainnya adalah sedikit demi sedikit masyarakat kita akan suka mencari-cari kejelekan orang lain dan mengunjingkannya. Orang cenderung lebih senang melihat kejelekan dan penderitaan orang lain dan tidak suka terhadap kesuksesan orang lain.
Dan kalau sikap bermasyarakat kita menjadi sedemikian bobroknya karena terbiasa dicekoki tayangan-tayangan seperti itu sehingga orang cenderung kurang menghargai kerja keras, akan tetapi malah timbul rasa iri dan dengki. Siapa yang akan bertanggung jawab?