Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya kita flashback ke masa studi kita dulu, berapa buku yang harus kita baca, berapa makalah kuliah yang harus kita buat, berapa laporan yang harus kita susun, berapa banyak praktikum yang harus kita jalani, KKN dan PPL (KP) yang harus kita lalui, berapa sering dan lama kita harus menunggu dosen untuk bimbingan atau minta tanda tangan, belum lagi ujian pendadaran yang harus kita ikuti, dan lain sebagainya. Memang harus diakui untuk menjadi seorang sarjana tidaklah mudah. Namun itu adalah yang terbaik untuk kita sebagai bekal kita di masa mendatang.
Masih dalam rangka flashback, selama kita studi tentu ada yang senantiasa memberikan dukungan moril maupun materiil sehingga kita bisa terus mengenyam bangku pendidikan. Siapakah mereka? Betul sekali, mereka adalah kedua orang tua kita. Jangan tanyakan berapa yang harus kita bayarkan untuk pengorbanan mereka. Doa, cinta, kasih sayang, dan motivasi ibu/bapak tentunya tidak bisa dirupiahkan. Berapa banyak rupiah yang telah mereka keluarkan untuk membiayai kuliah kita, perjuangan dan dedikasi mereka agar si anak tetap bisa mengenyam bangku kuliah sampai akhir, mereka rela hidup sederhana asalkan setiap bulan bisa mengirim uang untuk anaknya, serta hal-hal lainnya yang telah mereka berikan dengan tulus dan tanpa meminta imbalan apapun. Mereka hanya ingin anak mereka menjadi orang yang sukses, yang taraf kehidupannya lebih baik dari mereka sekarang. Itulah mereka yang selalu bersedia apa saja untuk masa depan putra/inya, pantaskah bila kemudian kita mengecewakan mereka?
Kembali ke pertanyaan-pertanyaan tersebuat di atas. Saat prosesi wisuda, tentunya seorang mahasiswa senang sekaligus bangga, tapi di sisi lain rata-rata mahasiswa bingung ke mana harus mencari kerja, bayangan pengangguran intelektual di depan mata. Sementara orang tua sudah mengelontorkan biaya hingga titik penghabisan. Tentuanya orang tua menginginkan si anak menjadi orang yang bekerja dan mapan, jangan sampai menjadi pengangguran terdidik.
Sebagai informasi, angka pengangguran terdidik terutama sarjana makin meningkat tajam. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) februari 2009, jumlah pengangguran terbuka mencapai 9,26 juta orang. Kalangan sarjana menjadi penyumbang terbesar. Sedikitnya lapangan pekerjaan menjadi kendala utama, serta persaingan yang semakin ketat. Berbeda dengan lulusan SMA dan Diploma, lebih sedikit yang menganggur dibanding sarjana. Alih-alih ingin menjadi manager pabrik, panggilan untuk interview tak jua datang. Kalaupun ada, biasanya marketing (sales door to door).
Nyaris tak ada lowongan kerja level menengah yang tak dibanjiri sarjana. Kondisi ini memprihatinkan. Sementara krisis keuangan global makin membuat para sarjana kesulitan untuk mendapatkan kesempatan kerja. Data Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan, perguruan tinggi (PT) di Indonesia tahun 2009 menciptakan 900.000 sarjana menganggur. Tiap tahun rata-rata 20% lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran.
Setidaknya ada 3 faktor besar yang menyebabkan banyaknya pengangguran di tingkat sarjana, yaitu: Pertama adalah faktor eksternal, yaitu menyempitnya lapangan kerja yang ada, pesatnya lulusan PT tidak diimbangi dengan permintaan dari dunia usaha. Kedua dari PT, kebanyakan PT tidak mempersiapkan para lulusan untuk memiliki kompetensi yang memadai dan menjadikan mahasiswa mandiri. Dan, yang ketiga adalah faktor internal, yaitu dari sarjana itu sendiri, ketika kuliah mereka justru tidak memanfaatkan waktu untuk mengambil ilmu semaksimal mungkin.
Pada selembar kertas kehidupan saudara, Anda pasti sudah menuliskan sebuah kerangka kehidupan entah itu berada pada poin empat, poin enam, atau poin sembilan, sebuah kalimat utama: “saya adalah seorang S.Pd.I, SH, SE, ST, atau S, S, yang lainnya. Saudara kita telah ditempa walaupun masih perlu kita tajamkan lagi agar menjadi pisau yang berguna, kita telah melewati banyak rintangan-rintangan jeram perkuliahan yang memahirkan dan mematangkan pengetahuan, pengalaman, emosi, dan spiritual kita.
Hal yang harus kita ketahuai adalah bahwa wisuda hanyalah merupakan permulaan lembaran kehidupan kita yang baru untuk menjadi seorang yang lebih dewasa, lebih matang, dan lebih bisa mandiri. Mungkin saat masih kuliah masih ada yang bermalas-malasan dan belum mempunyai rencana yang jelas untuk kehidupan di masa depannya, sekarang bukanlah saatnya, jangan dibawa sikap-sikap tersebuat. Sekarang adalah saatnya untuk bertindak untuk menjadi pejuang bagi masa depan, berjuanglah karena itu sudah menjadi bagian dari diri kita. Berusahan dan senantiasa memohon kepada-Nya untuk kemudahan jalan Anda dalam mengapai mimpi-mimpi Anda. Karena saya yakin saudara punya mimpi-mimpi besar untuk masa depan Anda.