Rudy Sanyoto, wakil ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), dalam keterangan tertulisnya menjelaskan masalah yang muncul sebenarnya bukan pada peraturan/regulasi baru yang akan mengenakan pajak tinggi serta bisa merugikan usaha para importir dan pihak MPA.
''Tapi surat edaran Dirjen Pajak No. 3 Tanggal 10 Januari 2011 hanya menegaskan agar mereka (importir dan Hollywood) harus bayar pajak impor yang benar dan wajar sesuai ketentuan peraturan perundangan (UU pajak dan UU Kepabeanan) yang ada dan berlaku,'' katanya.
Soal pernyataan kalau importir bayar 23,75 persen itu, kata dia, sungguh menyesatkan. Soalnya, dengan angka itu seolah-olah para importir dan pihak MPA telah kena beban yang tinggi. ''Tapi mereka itu sebenarnya tidak menerangkan 23,75 persen itu terdiri dari pajak apa saja dan dari nilai berapa,'' katanya.
Dia menjelaskan, 23,75 persen itu terdiri atas Bea Masuk 10 persen dari nilai pabean. Selanjutnya lagi PPN 10 persen dari (Nilai Pabean + BM) menjadi 11 persen dari Nilai Pabean, dan PPH 2,5 persen dari (Nilai Pabean + BM) menjadi 2,75 persen dari Nilai Pabean,
Sedangkan nilai pabean ini merupakan nilai transaksi yang sebenarnya, yang dibayar atau akan dibayar untuk memperoleh barang/jasa yang diimpor. ''Nah Nilai Pabean (NP) inilah yang kemudian menjadi nilai dasar pengenaan pajaknya,'' jelas pemilik laboratorium film Interstudio ini.
Lebih lanjut dia menuliskan, selama ini importir dan pihak Hollywood tidak pernah melaporkan harga transaksi jual atau beli film impor secara benar. Mereka hanya melaporkan Nilai Pabean senilai biaya cetak copy nya saja sebesar 0,43 dolar AS per meter.
''Padahal harga beli film tersebut bukan hanya itu karena ada yang dibayarkan kemudian yaitu sebesar persentase tertentu dari hasil edar film tersebut. Jadi saya merasa sangat wajar dong, kalau dikoreksi Ditjen Bea Cukai dan Ditjen Pajak,'' ujarnya.
sumber : http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/seni-budaya/11/02/20/165108-ini-dia-penjelasan-soal-pajak-dan-bea-masuk-film-impor