INI kisah tentang seorang teman sekelas waktu kelas satu dulu. Saya mengenalnya ya pas satu kelas dengan dia hampir dua puluh tahun yang lalu. Tak usah disebutkan namanya. Laki-laki. Orangnya—maaf—songong. Tidak sopan. Miskin. SPP-nya nunggak terus. Pakaian seragamnya juga dekil dan tak jarang tak pernah memakai kaos dalam. Sepatunya juga bolong-bolong, bulukan. Dan bau.
Secara fisik, dia juga tidak ganteng. Sori sekali lagi. Malah, di bawah rata-rata. Itu kata teman-teman di kelas yang suka gosip. Prestasinya, pas-pasan. Bahkan sempat mau tidak naik ke kelas dua. Hampir pasti setiap pertanyaan dari guru tak bisa dijawabnya.
Di kelas, dia juga dikenal sebagai troube maker. Kenapa memang? Saya pribadi yang boleh dibilang tidak pernah punya story sama dia, rasanya kok tidak nyaman saja ada dia di dekat-dekat saya. Pasalnya, kalau ditanya dia tidak ramah. Kalau lagi ngumpul-ngumpul, selalu diam tapi sekali ngomong kasar sekali bisa menyakiti hati kalau mendengarnya.
Awalnya sih dia pendiam. Cenderung minder malah. Tapi ketika pertengahan tahun, dia mulai terlihat mingled dengan teman-teman laki-laki lain sebayanya. Di sinilah perubahan itu terjadi. Karena mungkin ingin bisa diterima di lingkungan, yang asalnya memang sudah jelek, kelakuannya jadi tambah parah. Kadang-kadang, suka ketahuan kalau dia lagi ngobat di kelas. Pulang sekolah nongkrong di mal-mal. Bawa-bawa gitar. Wujud fisiknya sudah makin
tidak karuan. Piercing di beberapa tempat dalam tubuhnya, seperti di bawah mulut dan kuping jadi pemandangan biasa dalam dirinya.
Guru-guru pun sepertinya sudah bosan
memarahinya.
Satu hal yang bikin dia disukai oleh teman-teman di kelas adalah “rasa solidaritasnya” yang tinggi. Hampir bisa dipasikan tidak ada anak yang berani cari gara-gara dengan kelas kami. Karena dia adalah orang yang paling depan yang jadi satpamnya. Pernah ada anak kelas lain yang ‘ngecengin’ cewek gaul teman kami, suatu hari ditemukan anak kelas lain itu di dahinya ada jahitan dan perban. Usut punya usut, ternyata ‘si preman kelas kami’ itulah yang melakukannya karena merasa tidak sukadengan ulah si anak kelas lain itu.
Herannya, dia banyak ditanggap oleh sebagian besar teman laki-laki lain. Jika ulangan, pasti saja dia jadi mafia karena mengandalkan otak teman-teman di sekitarnya. Setiap malam Ahad pasti dia keliaran semalaman. Tahu duit darimana. Dari pembincaraan dengan teman-teman sekelas lainnya, dia dapat sokongan dana tidak terbatas dari sebagian anak laki-laki yang cukup berada di kelas. Puncaknya, adalah ketika beberapa waktu kemudian setelah
sekolah masuk lagi, anak itu dikeluarkan oleh pihak sekolah dengan alasan yang tidak diomongkan.
Kadang-kadang, saya jadi sedih melihatnya. Dilihat dari agamanya, jelas-jelas dia Islam. Tapi kelakuannya jauh sekali dari islami. Kadang juga suka nanya, kenapa teman-teman rohis tidak berusaha menyentuhnya? Mungkin perlu kerja keras. Sudah hidup di dunia miskin, susah, bodoh dan menderita, mestikah nanti di akhirat sana mengalami nasib yang sama?
Secara fisik, dia juga tidak ganteng. Sori sekali lagi. Malah, di bawah rata-rata. Itu kata teman-teman di kelas yang suka gosip. Prestasinya, pas-pasan. Bahkan sempat mau tidak naik ke kelas dua. Hampir pasti setiap pertanyaan dari guru tak bisa dijawabnya.
Di kelas, dia juga dikenal sebagai troube maker. Kenapa memang? Saya pribadi yang boleh dibilang tidak pernah punya story sama dia, rasanya kok tidak nyaman saja ada dia di dekat-dekat saya. Pasalnya, kalau ditanya dia tidak ramah. Kalau lagi ngumpul-ngumpul, selalu diam tapi sekali ngomong kasar sekali bisa menyakiti hati kalau mendengarnya.
Awalnya sih dia pendiam. Cenderung minder malah. Tapi ketika pertengahan tahun, dia mulai terlihat mingled dengan teman-teman laki-laki lain sebayanya. Di sinilah perubahan itu terjadi. Karena mungkin ingin bisa diterima di lingkungan, yang asalnya memang sudah jelek, kelakuannya jadi tambah parah. Kadang-kadang, suka ketahuan kalau dia lagi ngobat di kelas. Pulang sekolah nongkrong di mal-mal. Bawa-bawa gitar. Wujud fisiknya sudah makin
tidak karuan. Piercing di beberapa tempat dalam tubuhnya, seperti di bawah mulut dan kuping jadi pemandangan biasa dalam dirinya.
Guru-guru pun sepertinya sudah bosan
memarahinya.
Satu hal yang bikin dia disukai oleh teman-teman di kelas adalah “rasa solidaritasnya” yang tinggi. Hampir bisa dipasikan tidak ada anak yang berani cari gara-gara dengan kelas kami. Karena dia adalah orang yang paling depan yang jadi satpamnya. Pernah ada anak kelas lain yang ‘ngecengin’ cewek gaul teman kami, suatu hari ditemukan anak kelas lain itu di dahinya ada jahitan dan perban. Usut punya usut, ternyata ‘si preman kelas kami’ itulah yang melakukannya karena merasa tidak sukadengan ulah si anak kelas lain itu.
Herannya, dia banyak ditanggap oleh sebagian besar teman laki-laki lain. Jika ulangan, pasti saja dia jadi mafia karena mengandalkan otak teman-teman di sekitarnya. Setiap malam Ahad pasti dia keliaran semalaman. Tahu duit darimana. Dari pembincaraan dengan teman-teman sekelas lainnya, dia dapat sokongan dana tidak terbatas dari sebagian anak laki-laki yang cukup berada di kelas. Puncaknya, adalah ketika beberapa waktu kemudian setelah
sekolah masuk lagi, anak itu dikeluarkan oleh pihak sekolah dengan alasan yang tidak diomongkan.
Kadang-kadang, saya jadi sedih melihatnya. Dilihat dari agamanya, jelas-jelas dia Islam. Tapi kelakuannya jauh sekali dari islami. Kadang juga suka nanya, kenapa teman-teman rohis tidak berusaha menyentuhnya? Mungkin perlu kerja keras. Sudah hidup di dunia miskin, susah, bodoh dan menderita, mestikah nanti di akhirat sana mengalami nasib yang sama?